Dian Saputra
SINGKILTERKINI.NET, ACEH SINGKIL -- Lebih kurang lima bulan lebih tidak menginjakan kaki di Aceh Singkil, sebagai kampung halaman tentunya jelas saya sangat merindukan berbagai suasana alam dan terbesit keramah tamahan masyarakat Singkil.
Keadaan ini selalu dirindukan siapapun yang merantau termasuk mahasiswa yang bergelut dengan pendidikan diluar dari geografis Singkil, dan saya salah satunya.
Pun demikian, penulis telah lama tidak aktif kembali mengurai berbagai isu penting di Aceh Singkil akibat berbagai kesibukan.
Kemudian pada hari ini ingin memberikan sebuah tulisan kembali dengan gaya narasi storytelling terkait yang penulis amati, ya walaupun sedikit agak kaku.
Menjadi hal pasti setiap kali sampai ke Singkel selalu ada hal baru yang mewarnainya baik itu dari alamnya, sosial masyarakatnya, isu, sampai dengan berbagai bangunan yang itu menjadi suatu kebanggan dan terkadang menjadi sebuah hal mencengangkan.
Sepanjang perjalanan dari perbatasan Singkil dengan Subulussalam saya mengendarai sepeda motor dengan perlahan sambil membayangkan apa yang akan terjadi di Singkil untuk lima sampai sepuluh tahun kedepanya.
Apakah pepohonan sawit yang ada di pinggir jalan lintas Singkel akan berubah menjadi bangunan baru, atau justru akan bertambah banyak Seiring dengan bergantungnya masyarakat Aceh Singkil dengan tanaman sawit ini.
Terlepas dari bagaimanapun itu yang jelas keadaan ini menjadi sebuah harapan besar bagi masyarakat untuk melihat Aceh Singkel berubah menjadi lebih baik, dengan mendukung berbagai fasilitas yang layak serta aman untuk mendampingi Aceh Singkel lebih baik lagi kedepannya.
Atas dasar metode berpikir inilah mengapa penulis melahirkan tulisan ini, karena melihat keresahan yang menjadi dasar kepentingan masyarakat namun luput dari pandangan.
Berlanjut, keesokan harinya diundang diskusi oleh salah satu dosen untuk berdialog terkait Singkil. Pun demikian sepanjang jalan masih mengamati suasana menuju ibu kota Kabupaten Aceh Singkil.
Namun ada hal yang tak habis pikir, yaitu berbagai ranjau yang terpampang jelas dipermukaan jalan menuju ibu kota Singkil.
Hamparan ranjau berupa lobang yang menghiasi sepanjang jalan menuju ibu kota Singkil yang cukup lebar dan dalam.
Disiang hari mungkin dapat dihindari beberapa lobang namun tetap harus satu atau dua kali ban sepeda motor masuk ke dalamnya.
Namun penulis tidak bisa bayangkan jalan menuju ibu kota Singkil ketika malam hari dan dilalui oleh pengendara cukup kencang. Maka sesuai dengan judul tulisan ini "tak sampai ke ibu kota Singkil".
Mengapa jalan ini menjadi hal urgent, pertama ini menjadi pusat kota dari berbagai desa dikecamatan Singkil dan Singkil Utara, menjadi hal pasti banyak masyarakat akan melalui jalan menuju ibu kota Singkel untuk berbelanja atau sekedar healing (istilah zaman sekarang).
Disamping itu posisinya ibu kota menjadi banyak berbagai lembaga pemerintahan yang ada, sehingga mengharuskan para birokrat yang berdomisili diluar dari kota Singkil melalui jalan itu.
Kedua, ibu kota Singkil mengharuskan menjadi kota yang menerima tamu baik dari pemerintahan, komunitas, serta para peneliti akademis.
Apa yang akan terjadi pada hal ini selain membahayakan pengguna jalan?, jauh dari pada itu keadaan ini akan memberikan sebuah stereotip kepada para pendatang.
Setereotip inilah yang kemudian melahirkan berbagai persepsi tentang Singkil. Pada akhirnya mereka akan membawa kesan dan pesan yang kurang menarik ketika pertama sampai disingkil.
Melihat jalan yang menjadi dasar kebutuhan masyarakat harus dipenuhi ranjau. Penulis yang menempatkan diri sebagai orang awam melihat, mengapa hal ini tidak menjadi perhatian, struktur jalan yang bergelombang kemudian dilengkapi dengan beberapa lubang aspal sehingga dapat meraup kemungkinan orang untuk terjatuh dan tak sampai ke kota Singkel ditambah tidak ada rambu-rambu bahwa jalan berlubang.
Menjadi tanda tanya sampai kapan lubang-lubang ini terbungkus rapi untuk sekedar menepi dari permukaan aspal yang bergerigi hingga jalan lintas menuju ibu kota kami kembali rapi. Apakah keadaan ini menunggu korban jiwa untuk tersungkur menepi akibat lubang jalan yang menghantui. Padahal pemimpin kami hampir setiap hari melalui, dan kami yakin mereka pasti tau bahaya yang akan terjadi.
Kami rasa keadaan ini sangat sulit terjadi kepada pemimpin kami karena jelas mereka menunggangi kendaraan besi (mobil) yang cukup kokoh untuk melintasi lubang ini.
Dalih pembenaran akan hadir disisi mereka, dengan mengatakan bahwa jalan lintas menjadi tanggung jawab pusat. Padahal pemerintah daerah dalam peraturan juga andil dalam masalah jalan rusak ini.
Mengingat mereka yang langsung melihat jalan ini setiap harinya ditambah sokongan UU yang memaksa mereka harus menjaga jalan untuk kepentingan masyarakat.
Tulisan artikel ini membuat penulis sedikit lega dengan telah mengeluarkan berbagai keluh kesah yang juga dirasakan oleh orang banyak. Sehingga berharap pemerintah mampu menyelesaikan keadaan ini dan membungkus lubang aspal dengan balutan yang rapi.
Terlebih jalan tersebut menjadi akses penting bagi setiap tamu yang hendak meluluhkan pikiran di Kepulaun Banyak yang menjadi brand besar wisata Aceh Singkil.
Jalan yang aman dan nyaman menjadi tolak ukur pengunjung untuk melihat seberapa peduli pihak terkait merawat akses penting daerah.
Penulis: Dian Saputra
Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.