Oleh: Jamaluddin
Ada yang menulis berita sambil mengenakan seragam dinas. Ada pula yang menyusun laporan investigasi usai absen pagi. Fenomena aparatur sipil negara (ASN) yang merangkap sebagai wartawan kini bukan lagi hal langka.
Namun, seperti dua arus yang mengalir ke arah berbeda, peran ganda ini kerap menimbulkan riak: apakah ini bentuk pengabdian ganda, atau justru pelanggaran etika?
Pertanyaan ini sering datang, bahkan dari sesama jurnalis. Tak jarang, ASN yang aktif menulis berita menjadi sasaran sindiran—netralitas diragukan, independensi dipertanyakan. Seolah-olah, pena dan panggung kekuasaan tak mungkin berjalan seiring.
Tapi mari kita luruskan. Bukan berdasarkan asumsi, melainkan regulasi.
Hingga hari ini, penulis belum mendapati satu pun undang-undang yang secara eksplisit melarang ASN menjadi wartawan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN memberi ruang bagi aparatur negara untuk menyampaikan pendapat, selama tetap menjaga netralitas dan tidak menyalahgunakan jabatan.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak membatasi siapa pun untuk berprofesi sebagai wartawan—selama tunduk pada Kode Etik Jurnalistik, menjunjung independensi, dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau institusi.
Maka jika ditanya: bolehkah ASN menjadi wartawan? Secara hukum: boleh. Secara etika: tergantung.
Masalah muncul ketika fungsi jurnalistik dipakai untuk membela kepentingan pribadi atau menyerang kebijakan atas nama media.
Terlebih jika media dijadikan alat untuk memoles citra tempat kerja, atau sebaliknya, untuk menjatuhkan pesaing.
Inilah yang masuk dalam ranah konflik kepentingan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.
Namun bukan berarti semua ASN yang menulis otomatis bersalah. Banyak di antaranya melakukannya karena panggilan nurani—ingin menyuarakan kebenaran yang sering tenggelam di ruang birokrasi.
Bahkan, tak sedikit dari mereka yang mampu menjaga jarak profesional, menyumbangkan perspektif, dan memperkuat literasi publik melalui tulisan-tulisan yang jernih.
Kuncinya bukan pada status, melainkan sikap: Tahu kapan harus bicara, kapan harus diam. Tahu di mana batas antara profesi dan pengaruh.
Di tengah kebisingan informasi hari ini, kita justru butuh lebih banyak suara jernih—bukan partisan, apalagi oportunis.
Maka bila ada ASN yang ingin menulis dengan niat baik, mari kita lihat itu sebagai bagian dari ekosistem demokrasi. Asalkan satu prinsip tetap dijaga: integritas.
Sebab ketika pena digenggam oleh mereka yang paham batas etika, tak perlu kita khawatirkan pangkat, seragam, atau status.
Penulis adalah Pimpinan Redaksi Media Singkil Terkini
Referensi Hukum:
- Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN
- Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS
- Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
- Kode Etik Jurnalistik (Dewan Pers)
Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.