-->

Ngopi, Catur, dan Gorengan: Filosofi Jalanan di Warung Kopi Dua Jalur

REDAKSI

SINGKILTERKINI.NET, ACEH SINGKIL – Asap kopi mengepul dari cangkir kaca, menemani pisang goreng yang mulai dingin di atas piring plastik. Di sudut Warung Kopi Dua Jalur, Kecamatan Gunung Meriah, suasana mendadak hening.

Seorang lelaki paruh baya dengan rambut memutih menatap papan catur di hadapannya. Langkah bidak putih bisa menentukan segalanya: bertahan atau tumbang.

“Salah gerak, bisa ditertawakan satu kampung,” gumamnya sambil tersenyum masam, Senin (21/7).

Namanya April Siregar, 53 tahun. Ia bukan grandmaster, bukan pula pensiunan PNS. Ia penulis sekaligus aktivis. Di sela kesibukannya, ia kerap mampir ke warung kopi kecil ini, sekadar menantang siapa saja yang ingin adu strategi, sambil menyeruput kopi dan menggigit gorengan.

Ia tak sendiri. Bersama rekan-rekannya seperti Mukhlis dan Ari yang juga punya aktivitas masing-masing, April memanfaatkan waktu luang mereka untuk bertemu, berdiskusi, dan bermain catur. Bagi mereka, ini bukan soal menang-kalah, tapi menjaga kewarasan di tengah rutinitas.

Uniknya, meski tersedia WiFi di warkop ini, tak satu pun dari mereka sibuk dengan ponsel. Catur tetap jadi magnet utama. Obrolan dan tawa mengalir deras, lebih kuat dari notifikasi medsos.

“Langkahnya kaku, kayak hidupnya,” celetuk Mukhlis yang hari itu jadi komentator, disambut tawa pengunjung lainnya.

Warkop Dua Jalur berdiri di area lokasi Cipta Jaya Doorsmer, usaha cuci mobil dan sepeda motor milik warga. Suara semprotan air dan deru mesin pompa kadang jadi latar suara permainan catur. Tak jarang, pelanggan doorsmer ikut nimbrung, menonton sambil menunggu kendaraan selesai dicuci.

“Kadang-kadang yang cuci mobil malah ikut main. Lama-lama mobilnya kering sendiri,” ujar Ari, tertawa.

Di tengah dunia yang makin cepat dan digital, Warkop Dua Jalur menyajikan sesuatu yang perlahan hilang: interaksi hangat yang tak terhubung oleh kabel dan sinyal. Di sinilah, catur menjadi ruang refleksi—tentang hidup, ketegangan, dan kadang kekalahan yang harus disikapi dengan tertawa.

Bagi warga Gunung Meriah, tempat ini bukan sekadar warung kopi. Ia adalah ruang sosial yang hidup. Tempat orang tua saling sindir tanpa baper, anak muda belajar strategi dari yang lebih tua, dan semua orang sepakat bahwa dalam hidup, seperti dalam catur, setiap langkah harus dipikirkan matang-matang.

“Kadang kalah, tapi yang penting ngopi tetap jalan,” ujar Ari sebelum melangkahkan kudanya ke petak berikutnya—entah maju atau mundur, yang penting yakin.

Laporan: Jamaluddin

Komentar Anda

Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.

Berita Terkini