-->

Ketika HGU Berakhir: Menggugat Masa Depan Lahan demi Keadilan Sosial

REDAKSI
HGU

Oleh: Jamaluddin, Pimpinan Redaksi Singkil Terkini

Berakhirnya masa Hak Guna Usaha (HGU) suatu perusahaan perkebunan bukan sekadar penanda tanggal dalam dokumen hukum. 

Ia adalah momentum penting untuk mengevaluasi sejarah, menata ulang masa depan, dan yang paling utama: mewujudkan keadilan agraria bagi masyarakat.


Dalam suasana polemik seperti yang terjadi di Aceh Singkil, kita harus duduk bersama dengan kepala dingin, melihat aturan yang berlaku, dan membangun dialog yang tercerahkan.

HGU dan Kewenangan Negara

Hak Guna Usaha adalah hak yang diberikan negara untuk mengusahakan tanah untuk keperluan perkebunan, pertanian, perikanan, dan sebagainya.

Sesuai Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), jangka waktu HGU adalah maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun. Setelah masa berakhir, tanah tersebut secara hukum kembali menjadi tanah negara.

Selanjutnya, PP Nomor 18 Tahun 2021 dan Permen ATR/BPN No. 7 Tahun 2017 mengatur tata cara perpanjangan HGU dan tindakan atas lahan bekas HGU yang tidak dikelola dengan baik.

Sementara itu, UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, terutama Pasal 58, mewajibkan perusahaan untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling sedikit 20% dari luas HGU.

Inilah titik pentingnya: jika HGU berakhir dan tidak diperpanjang secara sah, maka lahan itu tidak boleh dikuasai secara sepihak. Negara harus hadir untuk memastikan siapa yang paling berhak mengelola tanah itu demi kepentingan umum dan keadilan.

Antara Harapan Masyarakat dan Kepentingan Perusahaan

Tak sedikit masyarakat yang merasa menjadi "penonton" di tanah sendiri. Lahan di sekeliling mereka dikuasai perusahaan selama puluhan tahun.

Maka, ketika HGU berakhir, harapan mereka muncul: apakah ini saatnya mendapatkan akses dan pengelolaan atas tanah tersebut?. 

Namun di sisi lain, perusahaan juga merasa telah memberikan kontribusi bagi pembangunan, menyerap tenaga kerja, dan berinvestasi. Mereka mengajukan perpanjangan HGU sebagai bentuk kelanjutan usaha yang sah.

Kedua perspektif ini valid. Namun negara tidak boleh pasif. Ia harus menjadi pengatur yang adil dan transparan, bukan sekadar penyaksi.

Negara Wajib Menata Ulang, Bukan Sekadar Memperpanjang

Setiap akhir HGU harus dilihat sebagai momentum evaluasi dan koreksi sejarah. Pertanyaannya bukan sekadar “apakah diperpanjang?”, tetapi:

- Apakah perusahaan telah menjalankan kewajiban sosialnya?
- Apakah masyarakat telah mendapatkan manfaat yang adil?
- Apakah lingkungan di sekitar lahan HGU mengalami perbaikan atau sebaliknya?

Jika ditemukan pelanggaran, termasuk tidak adanya realisasi kebun plasma 20%, maka perpanjangan HGU seharusnya tidak diberikan. 

Negara harus mengalokasikan lahan itu untuk kepentingan rakyat melalui program redistribusi tanah, kemitraan berbasis koperasi, atau perhutanan sosial.

Namun jika perusahaan patuh dan terbuka terhadap kemitraan masyarakat, kelanjutan usaha masih mungkin—tentu dengan skema yang menjamin keadilan lebih besar.

Tanah untuk Sebanyak Mungkin Orang

Kita tidak sedang bicara soal siapa lawan siapa. Ini soal bagaimana negara menjalankan amanah konstitusi untuk menjamin keadilan sosial.

Ketika HGU berakhir, tanah tidak boleh jatuh ke tangan segelintir orang. Ia harus membuka peluang sebesar-besarnya untuk rakyat.

Masyarakat harus terlibat secara sah dan aktif. Perusahaan harus terbuka dan bertanggung jawab. Pemerintah harus hadir sebagai penata, bukan penonton.

Karena tanah, seperti kata Bung Karno, bukan sekadar benda mati. Ia adalah urat nadi kehidupan bangsa.


Catatan:
Singkil Terkini siap menampung suara-suara konstruktif dari semua pihak untuk mendorong penyelesaian yang adil dan bermartabat atas setiap lahan yang diperebutkan. Kirimkan opini Anda ke redaksi kami untuk melanjutkan dialog ini.
Komentar Anda

Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.

Berita Terkini