-->

Catatan Hitam Pemilihan Keuchik di Aceh Singkil

REDAKSI

Razaliardi Manik

ACEH SINGKIL- Perhelatan Pemilihan Kepala Keuchik atau Pemilihan Kepala Kampung serentak di Kabupaten Aceh Singkil gelombang ketiga tahun 2021 usai sudah. Bahkan kepala kampung terpilih itupun kini telah dilantik oleh bupati Aceh Singkil, Dulmusrid, pada Selasa 28 Desember 2021 lalu.

Namun begitu, sengkarut pelanggaran peraturan dan perundang-undangan masih menyisakan persoalan, sehingga menjadi catatan hitam dan menambah bobroknnya tatakelola administrasi pemerintahan di negeri tempat kelahiran Syeh Abdurrauf Al Singkily ini.

Dalam catatan saya, setidaknya terdapat dua persoalan pelanggaran peraturan dan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Aceh Singkil selama pelaksanaan pemilihan kepala kampung serentak gelombang ketiga tahun 2021, khususnya dalam pemilihan kepala kampong Lae Butar Kecamatan Gunung Meriah.

Pertama; Surat Bupati Aceh Singkil No. 141,1543 tanggal 18 Oktober 2021 perihal Tindak lanjut Persoalan Bakal Calon Keuchik Desa Sanggaberu Silulusan yang kemudian ditindak lanjuti dengan SK Bupati tentang perubahan tahapan dan jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Keuchik khusus Kampung Sanggaberu Silulusan.

Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa tahapan dan jadwal pemilihan keuchik yang sudah dilalui sampai dengan tahapan pelaksanaan pemilihan nomor urut calon harus dijadwal ulang kembali mulai dari tahapan nomor 6, yaitu tahapan Penelitian Kelengkapan Persyaratan Administrasi dan Klarifikasi Bakal Calon. Kemudian tahapan nomor 7 Tes Baca Alquran, selanjutnya tahapan no 8 dan seterusnya sampai ketahapan nomor 11.

Padahal, tahapan-tahapan tersebut sudah dijalankan dan telah pula ditetapkan oleh Panitia Pemilihan Keuchik (P2K). Sedangkan tahapan Tes Baca Alqur'an telah ditetapkan dan diputuskan oleh Tim Seleksi Tes Baca Alqur'an tingkat kabupaten.

Terbitnya surat bupati dan SK Bupati khusus penjadwalan ulang tahapan pemilihan keuchik Sanggaberu Silulusan tersebut telah dipersoalkan dan dikritisi oleh berbagai kalangan di Aceh Singkil, karena dinilai cacat hukum dan sarat dengan mutan politis.

Mantan Ketua DPRK Aceh Singkil, Putra Arianto, misalnya. Ia berpendapat bahwa kebijakan bupati itu telah melanggar Peraturan Bupati Aceh Singkil No. 17 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik.

Bukan itu saja. Kebijakan politis bupati tersebut juga telah melanggar Surat Keputusan Bupati Aceh Singkil no. 188.45/62/2021 tentang tahapan dan jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Keucik Serentak Gelombang Ketiga Dalam Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2021.

Sehingga menurutnya, surat bupati tersebut tidak bisa begitu saja membatalkan tahapan-tahapan pilkades yang sudah dilalui. Sebab, jadwal tahapan-tahapan pilkades telah diatur berdasarkan SK Bupati No. 188.45/62/2021.

Seperti yang diprediksi sebelumnya, surat bupati No. 141,1543 tanggal 18 Oktober 2021 perihal Tindak lanjut Persoalan Bakal Calon Keuchik Desa Sanggaberu Silulusan tersebut tidak bisa dijalankan karena betentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, ternyata benar-benar menjadi kenyataan.

Akibat kebijakan bupati yang tidak bertanggungjawab tersebut, pelaksanaan pemilihan kepala kampong Sanggaberu Silulusan sampai saat ini tertunda untuk waktu yang belum ditentukan entah sampai kapan. Sebab, belum ada pejelasan secara resmi dari pemerintah kabupaten Aceh Singkil. 

Kedua; Selain penuh dengan muatan politis, Pemerintah Aceh Singkil juga dinilai telah melakukan pelanggaran Qanun Aceh No. 4 tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik Di Aceh, dan Peraturan Bupati Aceh Singkil No. 17 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik. 

Dalam Qanun Aceh No. 4 tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik Di Aceh, dan Peraturan Bupati Aceh Singkil No. 17 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik, disebutkan bahwa penetapan hasil pemilihan dilaporkan oleh Tuha Peuet atau Badan Permusyawaratan Kampong (BPKam) kepada bupati melalui camat.

Jika mengacu dengan kedua pasal tersebut diatas, maka jelaslah bahwa pelantikan Kepala Kampong atau Keuchik, dalam hal ini penetapan dan pelantikan kepala kampung Lae Butar dapat dikatakan telah melanggar peraturan dan perundang-undangan.

Pasalnya, menurut Camat Gunung Meriah, laporan hasil pemilihan kepala kampong Lae Butar sampai dengan tanggal pelatikan kepala kampong yang dilakukan oleh bupati Aceh Singkil, pihaknya belum pernah menerima surat laporan hasil pemilihan dari Badan Permusyawaratan Kampong (BPKam) Lae Butar. Oleh karena itu pula penatapan hasil pemilihan kepala kampong yang bersangkutan tidak ada rekomendasikan camat Gunung Meriah kepada bupati.

Berdasarkan dokumen yang beredar, diketahui bahwa pada tanggal 27 Desember 2021 atau 24 jam sebelum pelantikan seretak kepala kampong terpilih, Wakil Ketua BPKam Lae Butar baru melaporkan hasil pemilihan kepada bupati langsung tanpa melalui camat Gunung Meriah.

Hal tersebut jelas telah melanggar ketentuan sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 34 ayat (6) Qanun Aceh No. 4 tahun 2009, dan pasal 36 ayat (10) Peraturan Bupati Aceh Singkil No. 17 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik.

 ...... Tua Peuet atau Badan Permusyawaratan Kampung (BPKam) melaporakan hasil pemilihan kepada bupati melalui camat dengan tembusan kepada mukim untuk mendapatkan pengesahan. 

Demikian bunyi pasal 34 ayat (6) Qanun Aceh No. 4 tahun 2009, dan pasal 36 ayat (10) Peraturan Bupati Aceh Singkil No. 17 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik.

Itu artinya, bahwa laporan hasil pemilihan kepala kampong Lae Butar harus di sampaikan kepada bupati, dan laporan itu wajib pula melalui camat Gunung Meriah.

Namun dalam surat tersebut, camat Gunung Meriah justru hanya diberikan tembusan. Ironisnya lagi, surat yang ditanda tangani oleh Wakil Ketua BPKam ini tanpa dibubuhi cap stempel lembaga dan urutan penomoran surat. Kesannya seperti sebuah surat pribadi kepada bupati.

Namun apa daya. Bupati dengan kewenangannya, dan berdasarkan telaahan staf yang dinilai kurang memahami aturan, hanyan dengan hitungan jam keputusan yang sebelumnya telah ditetapkan bisa serta merta berubah. 

Saya tidak mengatakan bahwa bupati telah menyalahgunakan kewenangannya, tapi dengan kewenangannya, akhirnya bupati melantik kepala kampong Lae Butar secara serentak bersama 41 kepala kampong terpilih lainnya.

Padahal sehari sebelum pelantikan, baik bupati maupun Sekretaris Daerah Aceh Singkil menyatakan dalam keterangannya kepada beberapa media, hanya akan melanti 40 rang kepala kampong terpilih. Hal itu juga ditandai dengan undanga pelantikan kepada seluruh kepala kampong terpilih, dimana kepala kampong Lae Butar tidak termasuk didalamnya. 

Jauh sebelumnya, persoalan kecurangan pemilihan kepala kampong Lae Butar ini sudah berulang-ulang kali disampaikan oleh ketua BPKam dan salah seorang peserta calon kepala desa kepada bupati Aceh Singkil melalui Panitia Pemilihan Leuchik (P2K) tingkat kabupaten. Namun menurut sumber yang dekat dengan pengambil keputusan di lingkungan pemkab Aceh Singkil itu, surat tersebut tidak pernah sampai ketangan bupati.

Tidak diketahu pasti, apakah semua surat-surat yang disampaikan kepada bupati tersebut tertahan di meja Asisten I Pemerintahan Sedakab selaku Ketua P2K Kabupaten, atau tertahan di ruangan Kabag Pemerintahn. Yang pasti surat-surat persoalan perselisihan pemilihan kepala kampong tersebut tidak pernah sekalipun mendapat jawaban dari pemeritah kabupaten. 

Kebijakan Standar Ganda 

Lembaran-lembaran catatan hitam dan kecurangan demi kecurangan dalam pemilihan kepala kampong sejak awal sampai akhir pelaksanaan sepertinya menjadi sebuah kezaliman. Maaf, maksud saya kelaziman yang dipertontonkan kepada masyarakat Aceh Singkil.

Dosen saya Hotoguan Hutagalung pernah berkata kepada saya dalam sebuah diskusi kecil dirumah kediaman beliau di Pematang Siantar.

"Nak...! Jembatan kebenaran itu hanya bisa dilalui oleh orang-orang yang kuat, dan keadilan itu tidak bisa kau tegakkan jika kau hanya sendirian", demikian kutipan kalimat yang pernah diucapkan beliau kepada saya.

Ketika itu saya tidak percaya. Bagi saya saat itu, hukum adalah hukum, dan hukum dibuat untuk ditegakkan. Sebab, hukum adalah sebuah jembatan kebenaran. Keadilan harus ditegakkan, karena itu adalah satu-satunya jalan bagi orang yang tertindas. 

Saya tidak tahu pasti apakah kalimat diatas berkaitan dengan kebijakan standar ganda bupati dalam mengambil keputusan soal kasus perselisihan pemilihan kepala kampong seperti sub judul tulisan ini. Saya berharap tidak demikian. 

Secara imflisit, kalimat tersebut diatas implementasinya dapat dianalogikan dengan "politik belah bambu".

Istilah "Politik Belah Bambu" dengan menginjak yang satu dan menarik yang sebelah keatas tampaknya sudah mejadi kebiasaan dalam menyikapi persoalan perselisihan pemilihan kepala kampong di daerah ini. 

Sebelah mana yang mau di injak dan sebelah mana yang mau ditarik, itu tergantung kepada siapa keberpihakan ditetapkan, atau dari terminologi mana mereka melihatnya, dan dari sudut mana mereka memandangnya juga tergantung kepada siapa mereka berpihak. 

Sebenarnya, semula saya tidak mau menyikapi perselisihan mengenai pemilihan kepala kampong di Kampong Lae Butar, meski banyak teman-teman jurnalis meminta saya untuk memberikan tanggapan seputar hal ini. Sebab, sebagai seorang jurnalis, saya takut terjerumus kedalam politik belah bambu. 

Namun setelah membaca sebuah berita yang muat oleh Aceh Bisnis.Com dengan judul "Bupati Menilai Penetapan dan Pelantikan Kades Kampung Ujung Sesuai Aturan". Membaca berita itu batin saya langsung berontak. Naluri jurnalis saya muncul seketika.

Saya melihat kebijakan Double Standard atau standar ganda dalam memutuskan persoalan perselisihan kepala kampong, dan itu menurut saya tidak adil. Meski ada yang mengatakan itu adil, tapi saya melihatnya tidak.

Untuk lebih jelas, berikut saya sertakan cuplikan berita yang dimuat Aceh Bisnis.Com yang membuat jantung saya mendidih itu. Berikut cuplikannya:

Aceh Singkil, Aceh Bisnis - Bupati Aceh Singkil, Dulmusrid menilai penetapan dan  pelantikan kepala desa (Kades) kampung ujung, Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil itu sudah sesusai dengan aturan yang berlaku.

Aturan yang dia maksud kata dia adalah berupa rekomendasi melalui tahapan tahapan yang dilakukan oleh P2K, BPkam dan diserahkan oleh Camat. 

Sehingga dengan pertimbangan itu menurutnya tidak ada alasan untuk tidak melantik kepala desa tersebut. 
"Kita tidak ada alasan. Dan hasilnya sudah jelas yang menang adalah suara terbanyak ples 1 suara. Jadi kita minta untuk  segera di SK kan dan segera dilantik,"kata Dulmusrid, seusai pelantikan keuchik, (28/12/2021) lalu kepada media ini.

Dia menjelaskan sesuai peraturan gubernur dan Qarun Aceh yang menyebutkan bahwa segala bentuk permasalahan penyelesaian pemilu itu diselesaikan di desa. 

Dengan kata lain, sesuai rekomendasi yang diterimanya dari P2K, BPkam dan Camat Singkil dia berpandangan bahwa pemenangnya atau kepala desa terpilih sudah jelas. 

Menurutnya kebijakan yang diambil  itu sudah adil. Namun kendati demikian ia berjanji akan tetap mendukung apapun hasil putusan dari PTUN yang diajukan oleh penggugat. 

Pada alinea kedua berita tersebut, jelas bupati memberikan dasar pertimbangannya bahwa penetapan dan pelatikan kepala kampong Ujung telah sesuai dengan aturan, karena adanya rekomendasi dari P2K, BPKam dan Camat. Saya ulang adanya rekomendasi dari camat.

Jika kita hadapkan persoalan pelantikan kepala kampong Ujung dengan Pelantikan Kepala Kampong Lae Butar yang tidak ada rekomendasi dari Camat Gunung Meriah sebagaimana yang telah saya uraikan di awal tulisan ini, maka jelas bahwa bupati Aceh Singkil telah melakukan kebijakan standar ganda dalam memutuskan persoalan pemilihan kepala kampong.

Lantas, inikah keadilan yang dimaksud..? Jika inilah keadilan yang dimaksud, maka apa yang pernah diucapkan oleh dosen saya tersebut diatas, adalah benarlah adanya, dimana jembatan kebenaran itu hanya bisa dilalui oleh orang-orang yang kuat.

Bertitik tolak dari apa yang saya uraikan tersebut diatas, dan dengan menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah, maka saya berpendapat bahwa pelaksanaan pemilihan serentak kepala kampong gelembang ketiga ini dapat dikatakan penuh dengan kecurangan, dan cacat hukum, serta menjadi lembaran-lembaran catatan hitam dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan. (***)

Oleh: Razaliardi Manik, Pengamat Komunikasi dan Politik Lokal
Komentar Anda

Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.

Berita Terkini