-->

8 Bulan Pandemi: Susah Sinyal dan Dompet Kering yang Makin Menjadi

REDAKSI
Sudah delapan bulan lamanya Sejak Bulan Maret sampai Oktober 2020, pandemi Covid-19 hadir membawa segelintir permasalahan kompleks. Tidak terkecuali bagi dunia pendidikan yang secara langsung tak luput mendapatkan imbas tak mengenakan selama itu. Sejak datangnya Covid-19, Insan Pendidikan di Indonesia terpaksa harus menempuh pola pembelajaran baru.

Selama itu kita mengerti bersama, pembelajaran tatap muka di kelas antara guru dengan peserta didik umumnya sudah tidak lagi bisa dilakukan seperti sedia kala harus ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan. Hal tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri yang mau tidak mau harus dimaklumi dan dirasakan bersama.

Pembelajaran online atau dalam jaringan (Daring) hadir sebagai solusi ditengah krisis pendidikan di masa pandemi sekarang.  Pembelajaran Daring, atau E-Learning adalah pembelajaran dimana bahan pembelajaran disampaikan melalui media elektronik seperti Internet, Intranet, Satelit, TV, CD-ROM, dan lain sejenisnya. Elliott Masie, Cisco dan Comellia (Munir, 2009: 168).

Sementara media pendukung yang sering digunakan sebagai penunjang kelancaran belajar pola e-learning mayoritas yang dikenal dan lumrah digunakan modern ini adalah Internet. Pasalnya, pemahaman mengenai media dalam  e-learning kerap kali familiar dihubungkan dengan jaringan Internet. Jadi singkatnya, e-learning  merupakan kegiatan pembelajaran berbasis web (yang bisa diakses dari internet). William Horton (2004)

Ya, sesuai karakteristiknya yakni memanfaatkan teknologi elektronik terutama koneksi Internet, maka  sudah barang tentu pola pendidikan seperti ini sangat bergantung pada dukungan kemudahan akses Internet. Tentunya selama ini semenjak Pandemi menyerang setiap daerah di Indonesia juga sudah harus  memiliki koneksi jaringan Internet lancar dan stabil guna menunjang keberhasilan e-learning selama pandemi Covid-19. Tapi apakah iya seluruh sudut pelosok daerah di tanah air sudah menikmati demikian ?

Meneliti dan bertanya perihal kebutuhan Internet dalam kaitannya memberi kemudahan akses pembelajaran online di setiap penjuru daerah  pastinya akan memunculkan persepsi beragam.

Kemarin lusa (01/10) saya bersama teman seperjuangan diskusi santai bersama melalui pesan Whatsapp kelas. Kami mengobrol terkait pembelajaran online seperti sekarang ini.  Banyak pembicaraan yang kami bahas, hingga sampai pada topik terkait kendala masing-masing saat mulai belajar online di rumah pada bulan Maret Lalu. Mengacu pada tanggal ditetapkan di lembaga pendidikan yang kami tempuh. Salah satu temanku bernama Adi tiba-tiba berceloteh " sinau ning ngumah agep ora, wong aku nang kota sinyale tetep kepenak. (belajar di rumah atau tidak, aku di kota sinyalnya tetap mudah). katanya. 

Lalu disambung pesan teman lain, Antika salah satunya yang berujar bahwa saat belajar online tidak ada kendala baginya karena di rumahnya sudah berlangganan jaringan Wifi. " umahku ana wifi ya kepenak baen". Saya pun hanya membalas dengan sepatah kata "oh begitu ya.. hehe .." 

Bukan tanpa sebab mereka berkata demikian, pasalnya mereka tinggal di pusat perkotaan. Dan jika dilihat dari segi fasilitas penunjang di kota pastinya sudah sangat mendukung, mulai dari jaringan internet seluler, jaringan wifi, atau sejenisnya tersedia di kota.

Di dalam hati, saya pun cemburu mendengar ungkapan Adi dan mereka di luar sana yang beruntung tinggal di kawasan kota dengan fasilitas pendukung belajar online serba mudah. Rasanya keadilan itu belum serta merta memihak kepada mereka yang tinggal di pelosok desa dengan koneksi internet serba sulit. Bahkan tidak sedikit Desa sama sekali belum tersentuh nikmatnya Internet. Termasuk saya pribadi.

Kemudian jika mencoba menanyakan keadaan siswa di pelosok Desa tentunya akan jauh berbanding terbalik dari pernyataan yang Adi maupun Antika lontarkan. Saya coba menjwab dengan fakta di Lapangan.

Melansir rilis berita dari detikcom berjudul "13.000 Pelosok Belum terhubung Internet, Apa Biang Keroknya ?" yang terbit Agustus silam, disebutkan masih ada sekitar 13 ribuan masyarakat pedesaan di Indonesia belum bisa menikmati kemudahan akses Internet. Nah data tersebut semacam memberikan jawaban cukup 'jleb' terkait kesusahan dalam ikhtiar menjalani konsep belajar online selama ini.

Bukan hanya saya, pastinya dengan jumlah diatas sudah bisa diketahui banyak sekali akademisi di Desa yang kesulitan mengakses pembelajaran Online dikarenakan daerahnya belum terjamah koneksi Internet. Sungguh menyedihkan ketika kerap kali melihat berita di media tentang pelajar yang menempuh puluhan kilometer untuk mencari sinya hp, dan mereka yang harus membuat panggok di atas pohon mencari koneksi internet stabil agar bisa mengikuti perkuliahan dengan lancar. 

Saya pribadi juga sering mendengar keluhan orang tua terkait pengeluaran biaya bulanan untuk membeli kuota internet. Dalam satu minggu saja mereka bisa mengeuarkan uang senilai 300 ribu hanya untuk pembelian kuota internet bagi anaknya. Jika dikalkulasikan selama 1 bulan (300.000 x 4 = 1.200.000) Jumlah tersebut hanya untuk satu anak saja. Nah jikalau ada 3 anak di rumah, apa tidak gelagapan sebagai orang tua.

Belum lagi mereka yang berada di daerah dengan kondisi geografis susah jangkauan sinyal dan harus pergi dan membutuhkan biaya transportasi lebih banyak.  Bayangkan, Bantuan Langsung Pemerintah (BLT)  berupa uang yang sedianya diberikan untuk mencukupi kebutuhan pokok rumah tangga seperti beras ataupun gula malah sekejap habis untuk mebeli paket data yang sekedar digunakan menggali ilmu secara virtual melalui layar monitor. Jadi salah siapa ?

Penulis : Gayuh Ilham Widadi
Komentar Anda

Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.

Berita Terkini