Oleh: Jamaluddin
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi Aceh dipersilakan menggugat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terkait penetapan Pulau Lipan, Panjang, Mangkir Ketek, dan Mangkir Gadang sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
“Kami terbuka jika ada yang menggugat secara hukum ke PTUN, kami tidak keberatan,” ujar Tito, sebagaimana dilansir Tempo pada 10 Juni 2025. 📎 Tempo.co – Mendagri Persilakan Pemindahan 4 Pulau di Aceh Digugat ke PTUN https://www.tempo.co/politik/mendagri-persilakan-pemindahan-4-pulau-di-aceh-digugat-ke-ptun-1674129
Pernyataan itu terdengar demokratis. Namun bagi kami, masyarakat perbatasan di Aceh Singkil, pernyataan tersebut justru memunculkan pertanyaan mendasar: Jika harus menggugat ke PTUN, uang biaya perkara itu dari mana? Apakah dari dana pribadi pejabat, ataukah dari kantong rakyat?
Masalah dari Jakarta, Tapi Bebannya Ditanggung Rakyat Aceh
Keputusan Mendagri ini bukan persoalan kecil. Ia berdampak langsung pada batas wilayah, identitas daerah, serta potensi sumber daya alam di empat pulau yang selama ini diyakini berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
Namun keputusan ini diterbitkan oleh pemerintah pusat, tanpa partisipasi nyata rakyat Aceh, tanpa konsultasi terbuka, bahkan tanpa persetujuan lembaga perwakilan seperti DPRA—sebagaimana seharusnya menurut semangat Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Dan ketika masyarakat Aceh merespons, pemerintah pusat menyarankan jalur hukum. Lantas, apakah Mendagri akan menyediakan anggaran untuk biaya perkara tersebut? Atau Gubernur Aceh? Atau Bupati Aceh Singkil dari dana pribadi? Sudah pasti tidak.
Akhirnya, semua beban akan kembali ke rakyat. Dari mana lagi jika bukan dari APBA atau APBK? Dan pertanyaan lanjutannya: Siapa yang berani menyusun dan mempertanggungjawabkan anggaran itu secara terbuka?
Gugatan Bukan Soal Kertas, Tapi Perjuangan Panjang dan Mahal
Menggugat Keputusan Menteri ke PTUN bukanlah perkara ringan. Diperlukan tim hukum yang kompeten, kajian teknis batas wilayah, dokumen historis, dan bukti geospasial.
Kemudian, saksi ahli, logistik perjalanan, biaya akomodasi, hingga ongkos sidang berkali-kali. Belum termasuk koordinasi politik tingkat tinggi di Jakarta dan Banda Aceh.
Anggaran yang dibutuhkan tidak sedikit—bisa mencapai ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah. Sementara di saat yang sama, rakyat Aceh masih berjibaku dengan masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang tertinggal.
Pemkab Aceh Singkil Tidak Boleh Diam
Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil memiliki kepentingan langsung dan legal standing dalam perkara ini. Keempat pulau yang dipindahkan ke Sumatera Utara selama ini berada dalam pengelolaan dan pengawasan administratif Aceh Singkil. Maka jika Aceh menggugat, Pemkab tidak boleh absen.
Tidak cukup hanya mengandalkan Pemerintah Provinsi. Pemkab Aceh Singkil harus dilibatkan secara aktif, atau bahkan ikut menggugat, karena turut dirugikan dari sisi pelayanan publik, tata kelola pemerintahan, hingga potensi sumber daya alam dan pendapatan daerah.
Diamnya Pemkab hanya akan mengesankan pembiaran terhadap perampasan wilayahnya sendiri.
Rakyat Tidak Butuh Retorika, Tapi Keadilan
Pernyataan “silakan gugat” bukanlah solusi. Itu lebih tampak sebagai bentuk pengalihan tanggung jawab. Apalagi jika rakyat bukan hanya kehilangan wilayah, tapi juga harus membiayai sendiri perjuangan mempertahankannya.
Kami tidak anti hukum. Kami sadar bahwa jalur hukum adalah instrumen konstitusional. Tapi kami juga ingin negara hadir—bukan sebagai penonton, melainkan sebagai pihak yang bertanggung jawab memastikan keadilan ditegakkan tanpa membebani rakyat yang sudah cukup lelah.
Apa yang Harus Dilakukan?
-
Pemerintah Aceh harus segera menggugat secara resmi dan terbuka.
-
Biaya gugatan harus transparan, tidak ditutup-tutupi, dan berasal dari pos anggaran yang sah.
-
Keputusan Mendagri harus dievaluasi atau dibekukan sementara, hingga ada putusan pengadilan.
-
Pemkab Aceh Singkil wajib dilibatkan atau ikut menggugat, karena menyangkut langsung batas wilayah kabupaten.
-
Rakyat harus dilibatkan dalam proses, bukan hanya dijadikan objek pasif dari keputusan pusat.
Empat pulau itu bukan sekadar gugusan titik di peta. Mereka adalah bagian dari sejarah, ekonomi, dan identitas Aceh Singkil. Ketika keputusan lahir tanpa partisipasi rakyat, maka mempertanyakan keadilan bukanlah sikap melawan, tetapi hak konstitusional kami sebagai warga negara.
Penulis adalah Pimpinan Redaksi Media Singkil Terkini dan Ketua DPC PPWI Kabupaten Aceh Singkil
Catatan Penulis:
Opini ini ditulis sebagai bentuk kritik konstruktif dan suara warga terhadap dinamika kebijakan pusat-daerah. Harapannya, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat dapat bersikap transparan, adil, dan menjunjung tinggi kepentingan rakyat dalam persoalan batas wilayah.
Disclaimer:
Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dalam kapasitas sebagai warga negara dan jurnalis. Pandangan, analisis, dan kritik yang disampaikan tidak mewakili secara resmi sikap lembaga atau organisasi manapun, kecuali dinyatakan secara tertulis oleh pihak terkait. Opini ini dimaksudkan untuk mendorong diskusi publik yang sehat dan partisipatif.
Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.