-->

"Lampung" Sebagai Representasi Aceh Singkil Tempo Dulu

REDAKSI

SUDAH sejak lama dalam pikiran berimajinasi untuk mengawang-awang bagaimana suasana Aceh Singkil tempo dulu yang sarat akan sejarah kegagahanya sebagai sebuah daerah yang kaya akan hasil alam. Bertaut dari satu cerita kecerita lain yang begitu renyah membicarakan bagaimana kondisi kehidupan masyarakat untuk membuka Aceh Singkil sebagai sebuah daerah yang bisa dihuni setiap sudut kota dan desanya.

Melalui teman saya berkesempatan untuk menelusuri sebuah serpihan dari saksi bisu kisah masyarakat Aceh Singkil pada masa pra Singkil sebagai daerah modern seperti saat ini. Niat tersebut berawal karena saya dengan rekan bernama Suhardin memiliki sebuah media yang secara intens kami arahkan untuk membedah sisi lain yang terkadang dilupakan oleh masyarakat Singkil modern saat ini yaitu berkaitan dengan sejarah peninggalan, sosial masyarakat, dan sebagainya. Media tersebut kami rintis melalui sebuah akun yang ada di intagram bernama Chinquelle.

Kami menelusuri sebuah serpihan saksi sejarah masyarakat sungai yang ada di Aceh Singkil yaitu bernama "Lampung". Nama tersebut bukanlah sebuah provinsi yang ada di Pulau Sumatra, melainkan sebuah warung kopi yang letaknya anti-maintrem yaitu berada di atas air.

Tentunya keberadaan lampung ini selain kaya akan sejarah, disatu sisi menjadi daya tarik sendiri bagi milenial seperti saya. Keadaan ini berbanding jauh dari circle milenial pada umumnya yang biasa ngopi di warung modern dengan konsep kekinian.

Justru bagi saya "lampung" yang memiliki singkatan "warung terapung" memiliki nilai tersendiri ketika duduk dan menikmati secangkir kopi disana. Terpaan angin sungai dengan diiringi suara lalu lintas sampan nelayan yang lalu-lalang membuat seakan jiwa saya kembali melihat aktivitas masyarakat Singkil pra modern.

Walaupun tidak secara utuh namun kacamata batin saya berhasil membayangkan kehidupan yang tidak pernah saya sentuh sebelumnya hanya mendengar berbasis oral histori dari masyarakat.

Kopi hitam yang sederhana menambah suasana semakin kental dan terus mengental sembari melihat aktivitas masyarakat yang silih berganti satu dengan yang lain bergiliran masuk ke lampung.

Sebelum duduk pesan kopi mereka juga tak lupa mengikat sampan miliknya di bongkahan kayu yang menjadi tumpuan besar dari warung "lampung" agar bisa berada di atas air atau terapung. Bongkahan kayu ini cukup besar dan banyak sehingga mampu menjadi pondasi lampung diatas air.

Sepanjang penulis amati mereka yang duduk di lampung kebanyakan adalah nelayan sungai yang sedang istirahat atau sekedar menunggu sebelum berangkat memenuhi aktivitasnya. Namun, tak jarang juga dari mereka bukan hanya dari nelayan yang duduk untuk menikmati kopi dan bercerita dengan sesama masyarakat yang ada di warung lampung ini. Secara sederhana lampung saat ini berhasil mengikat setiap kalang untuk menyinggahinya.

Menu yang dijual juga masih mempertahankan kesederhanaanya, terutama kopi hitam yang menjadi prioritas dari pesanan masyarakat. Disamping itu juga makanan pendukung "bokom" juga menjadi santapan yang cukup andil besar dari menu andalan di lampung. 

Bokom sendiri adalah makanan mie instan yang dilangsung di seduh dengan air panas, kemudian dicampur dengan rempah-rempah seperti cabai, bawang, jeruk nipis, dan lainnya. Masyarakat Singkil menyebutnya makanan ini dengan "bokom" dan cukup banyak kita temui di warung sederhana miliki masyarakat.

Lalu sepanjang menyuruput perlahan kopi hitam kami berdiskusi tentang lampung tempo dulu. Mengingat dahulu jalur darat yang ada di Singkil belum terbuka seperti saat ini, pun demikian juga dengan transportasinya. Melalui keadaan ini mengharuskan akses masyarakat dalam berpergian melalui Sungai yang ada di Singkil.

Nah, dari sinilah kita bayangkan bahwa lampung ibarat sebuah warung kopi yang ada disepanjang jalan raya Singkil saat ini, ketika kita dalam perjalanan kemudian singgah sebentar untuk istirahat dan minum kopi layakanya menjadi kebiasaan. Begitu juga kondisi lampung saat duhulu menjadi sebuah "rest area" bagi masyarakat yang sedang bepergian jauh, namun yang membedakan adalah melalui jalur sungai.

Sungai-sungai inilah yang menghubungkan antar wilayah yang ada di Aceh Singkil mulai dari hulu hingga hilirnya. Jadi disetiap wilayah yang ada penduduknya maka lampung ini berjejeran sepanjang sungai yang ada diwilayah tersebut sebagai persinggahan. 

Seiring dengan berjalanya waktu keberadaan lampung ini semakin sulit ditemukan, saya sendiri menikmati suasana lampung ini di Desa Tanah Merah Kecamatan Gunung Meriah. Suasana lampung ini masih sangat khas dengan berbagai selukbeluk ornamen yang masih dipertahankan.

Penulis sendiri berharap keberadaan lampung ini terus dipertahankan dari generasi ke generasi, walaupun penuh dengan kesederhanaan namun lampung menjadi saksi bisu Singkil dari setiap generasinya. Sehingga, kita sendiri sebagai generasi yang lahir tidak menyentuh suasana eksistensi lampung pada masanya menjadi tantangan tersendiri untuk menjaga keberadaan lampung dan terus melestarikanya.

Penulis: Dian Saputra
Komentar Anda

Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.

Berita Terkini