-->

Kredo Wilson Lalengke : Quo Vadis Pancasila

REDAKSI

Jakarta – Tulisan ini dilatarbelakangi oleh seorang yang mendalami atas kondisi bangsa Indonesia saat ini. Banyak pihak diliputi rasa sedih melihat "kebangkrutan" Indonesia yang sudah di depan mata. 

Perekonomian semakin morat-marit, meski laporan Pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6 persen per tahun, namun sesungguhnya pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh sekelompok kecil pelaku konglomerasi usaha yang didominasi asing, banyak orang tetap tertinggal, miskin.

Berbagai bidang kehidupan juga bangkrut. Pangan meningkat akibat kebijakan pangan yang mengandalkan kapital pembangunan perdagangan. 

Teknologi dan ilmu pengetahuan tidak mendukung kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di bangsa ini. Yang terjadi hanyalah transfer pengetahuan menggunakan teknologi impor, tanpa kemampuan menciptakan teknologi dan/atau menemukan teori ilmu pengetahuan baru. 

Akibatnya, bangsa ini sesungguhnya tidak lebih dari sekawanan (maaf) monyet yang diajari menggunakan topeng monyet, tanpa simonyet mampu membuat topengnya, menciptakan jenis topeng inovatif lainnya.

Sumbernya potensi kewilayahan dan alam yang dimiliki bangsa Indonesia hingga pada tingkat-tingkat yang luar biasa, merupakan salah satu indikator bahwa bangsa ini menghadapi bencana yang amat serius. 

Hal ini tentunya akan berakibat pada permasalahan-permasalahan lainnya seperti keamanan, perbaikan, serta pertahanan dan ketahanan bangsa yang semakin lemah. 

Keresahan sosial terjadi semakin semakin meluas dan meluas. Hukum? Terjun bebas, diperparah oleh fakta lapangan bahwa semua perangkat penegak hukum polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan petugas lembaga pemasyarakatan, bukan hanya menjamin tetapi menghancurkan hukum itu sendiri. sungguh prihatin…

Dasar, belum selesai hingga di situ. Tanda-tanda kebangkrutan bangsa juga sudah merambah wilayah fundamental kemanusiaan dan kebangsaan Indonesia: kebangkrutan ideologi. 

Banyak orang saat ini menafikan, bahkan ingin mendukung, ideologi negara, pandangan hidup bangsa Indonesia Pancasila. Pernyataan amat ekstrim-pun muncul: pengikut Pancasila adalah kafir dan akan binasa! (Abu Jibril, 2013).

Apa sebenarnya yang sedang terjadi ini? lupa suatu saat dilupakan oleh rakyat di nusantara? Kemana sesungguhnya negara Indonesia sedang menuju? Tiadakah lagi harapan untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi hidup berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara Indonesia? Uraian berikut kiranya dapat memberi penjelasan singkat tentang hal-hal problematik yang menjadi pertanyaan umum di atas ini.

Salah satu asumsi yang berkembang di kalangan akademisi dan pengamat sosial mengatakan bahwa Pancasila baru menjadi ideologi atau ideologi terapan di kalangan segelintir elit/pemikir bangsa di awal kemerdekaan. 

Oleh karena itu, saat Suharto berkuasa, Pancasila hendak dibumikan hingga tataran rakyat jelata secara menyeluruh melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). 

Namun, yang kemudian terjadi adalah program P-4 hanya jadi bancakanproyek, sebagai penyebaran virus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang hakekatnya tidak sesuai dengan nilai-nilai ideologi Pancasila. 

Hal itu, selanjutnya melahirkan apatisme nasional "tidak sejalan dengan kata-kata perbuatan", yang dilakukan bermuara pada keraguan terhadap Pancasila sebagai sebuah sumber ajaran nilai-nilai moral yang baik.

Berdasarkan pengajaran nilai yang dipakai oleh UNESCO, yang harus dilakukan oleh suatu bangsa dalam rangka membangun sebuah komunitas berdasarkan nilai-nilai tertentu yang ingin digunakan adalah 4 hal melalui 4 tahapan. 

Ke-empat hal itu adalah: 1) memberi tahu, agar pembangunan pengetahuan yang memadai tentang nilai-nilai tersebut; 2) memberi pengertian, agar setiap warga bangsa memahami tentang perlunya nilai-nilai bagi komunitasnya; 3) memberi pemahaman, agar setiap orang memahami cara kerja sebuah sistem nilai termasuk dalam hal mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari; dan 4) menciptakan sebuah suasana agar nilai-nilai yang diketahui, Sulit, dan dapat dijangkau itu dapat dibudayakan.

Pengalaman pada era Suharto, program P-4 baru menyentuh tahap yang pertama (pengetahuan), dan sedikit melangkah ke tahap kedua (pengertian). 

Sosialisasi nilai Pancasila belum sampai pada tahap pemahaman, apalagi ke ranah pembudayaan, masih sangat jauh. 

Jadi, tidak heran jika kemudian yang terjadi saat ini adalah kebingungan hampir setiap orang, terutama di tataran akar rumput dan generasi muda tentang bagaimana sebenarnya hidup berbangsa dan bermasyarakat Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila itu. 

Pada kondisi ini, arus ideologi yang gencar masuk dengan leluasa, bersama nilai-nilai asing yang membonceng di dalamnya (termasuk nilai-nilai agama fundamentalis), secara langsung dan telak menghantam atau menginfiltrasi ke dalam nilai-nilai Pancasila.

Fenomena yang terlihat lebih dari sepuluh tahun terakhir adalah sebuah hal yang wajar terjadi. 

Dimana-mana terlihat dan pengingkaran nilai-nilai Pancasila, bahkan nilai-nilai budaya yang lebih bersifat lokal, tergerus berdasarkan nilai-nilai baru yang lebih segar, berjiwa muda, dan atraktif-provokatif. 

Di bawah alam sadar bangsa ini, sesungguhnya nilai-nilai asing tersebut ditolak. Namun, dalam situasi gamang-nilai seperti sekarang, ditambah dengan himpitan kesulitan hidup secara ekonomi, politik, dan sosial, masyarakat dihadapkan pada situasi "tidak ada pilihan lain". 

Memilih Pancasila yang pengertiannya setengah-setengah, diperparah lagi oleh gambar panutan "tokoh pancasilais" yang bisa ditiru, dicontoh, dan diikuti; maka paling menarik adalah mencoba "menu nilai-nilai" baru yang datang menghampiri pilihan.

Kondisi itu akan berlangsung hingga belasan tahun lagi ke depan. Nanti akan mencapai titik jenuh-nya ketika bangsa ini tiba pada masa ambang batas normal terendah sebagai bangsa manusia terlewati. 

Dengan kata lain, kondisi bangsa telah benar-benar tenggelam hampir ke dasar samudra. Pada saat itu, kesadaran kolektif masyarakat Indonesia akan terbangun kembali; keinginan untuk menghidupkan nilai-nilai peninggalan leluhur bangsa sendiri akan menjadi bahan diskusi masyarakat umum, kenangan masa silam akan menjadi kerinduan. 

Saat itulah, titik balik untuk membangun bangsa dengan nilai-nilai nenek-moyangnya sendiri akan berkembang. 

Sayangnya, ketika masa itu tiba, sudah terlambat: Indonesia sudah bercerai-berai menjadi komunitas-komunitas kecil sesuai dengan domain kesuku-bangsaannya sendiri-sendiri. 

Komunitas-komunitas inilah yang akhirnya tumbuh berkembang menjalankan kehidupan berbangsa, bermasyarkat (dan kemungkinan besar bernegara bukan Indonesia yang kita kenal saat ini) berlandaskan nilai-nilai nenek moyang masing-masing. 

Jika prediksi ini benar terjadi, maka saya hanya dapat mengucapkan dalam tanya: Quo Vadis Pancasila?


(Artikel ini ditulis pada medio 2013, dan masih relevan hingga hari ini)

Penulis: Wilson Lalengke, alumni Birmingham University Inggris, Utrecht University Belanda, Linkoping University Swedia; mantan dosen paruh waktu Universitas Bina Nusantara, Jakarta; Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012

Kunjungi juga kami di  www.pewarta-indonesia.com  dan  www.persisma.org
Komentar Anda

Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.

Berita Terkini