Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke
SINGKILTERKINI.COM,JAKARTA - Media Kabarbangka.Com mempublikasikan berita
tentang daftar 57 calon kabupaten baru dan 8 calon provinsi baru tertanggal 21
Juni 2019. Berita itu kemudian direspon sehari kemudian oleh Pusat Penerangan
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang pada intinya menyatakan bahwa
informasi tersebut tidak benar alias bohong.
"Kabarbangka.com telah menyebarkan Hoax Daerah Pemekaran.
Hoax tersebut memfitnah institusi Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini telah
mengaku mendapat rilis resmi dari Puspen Kemendagri. Padahal, rilis tersebut
tidak pernah ditulis dan disebarkan Puspen Kemendagri." Demikian rilis
yang dapat dibaca di situs resmi Kemendagri.go.id.
Rilis Puspen Kemendagri selengkapnya di sini: Kabarbangka.com Telah Menyebarkan Hoax Daerah Pemekaran
Lebih jauh, pihak Kementerian menganggap bahwa pembuatan dan
publikasi berita bohong tersebut dianggap sebagai kejahatan, dan akan
dilaporkan ke Dewan Pers untuk diproses sesuai mekanisme yang berlaku.
"Segera kami laporkan ke Dewan Pers. Media tersebut telah melakukan
kejahatan, mengarang dan menyebar fitnah," tegas Bahtiar Baharudin, Kepala
Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri.
Romlan, pimpinan redaksi Kabarbangka.Com, telah mengaku
khilaf dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Dirinya juga sudah menghapus
isi berita bohong atau populer disebut hoax itu dari situs media Kabarbangka.com
dan menggantinya dengan ungkapan permintaan maaf kepada publik, Kementerian
Dalam Negeri serta DPR-RI.
Langkah kesatria mengakui kesalahan dan meminta maaf sang
pemimpin redaksi Romlan tentu patut diapresiasi. Penulis secara pribadi, dan
organisasi PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) sangat menghargai sifat
baik untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada publik dan para pihak
terkait yang merasa dirugikan. Semoga ketulusan hati dan permintaan maaf itu
dapat dipertimbangkan oleh para pihak, seperti Kementerian Dalam Negeri, DPR-RI
dan Dewan Pers.
Namun begitu, kasus Romlan dan Kabarbangka-nya itu tidak
dapat dilihat sepintas lalu saja sebagai hal yang lumrah, dan dibiarkan berlalu
tanpa makna. Kasus ini sesungguhnya sangat krusial dan fenomenal, ia ibarat
titik puncak kecil gunung es yang tampak di permukaan air saja. Persoalan
substansial yang amat besar, yang selama ini tenggelam di bawah permukaan,
semestinya dikeker dan dicarikan solusinya oleh semua kalangan, terutama
pemangku kewenangan terkait media massa dan pemberitaan.
Harap diketahui bahwa Romlan itu adalah pemegang Sertifikat
Wartawan Utama yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan
ditandaptangani oleh Ketua Dewan Pers. Seorang wartawan utama, tentulah sudah
melewati berbagai pelatihan dan praktek serta pengalaman bermedia-massa dan
melakukan tugas jurnalistik yang cukup panjang. Romlan sudah pasti melangkah
dari tahap sertifikasi wartawan pemula, wartawan madya, untuk kemudian
mengikuti ujian kompetensi wartawan utama.
Berdasarkan fakta tersebut, patutlah kita berasumsi bahwa
pelaksanaan sertifikasi kompetensi wartawan, yang oleh banyak pihak dianggap
sebagai kebijakan “memandai-mandai”, meminjam istilah orang Sumatera, selama
ini banyak menyimpan masalah dan penyimpangan.
Seorang rekan wartawan senior
Metro-TV beberapa waktu lalu menyatakan enggan mengikuti Uji Kompetensi
Wartawan (UKW) karena menurutnya, dia adalah sarjana ilmu komunikasi dari
perguruan tinggi ternama di Surabaya, plus sudah mengikuti magang yang ketat,
plus (lagi) pengalaman sebagai wartawan di berbagai posisi yang cukup lama.
Sementara, kata dia lagi, penguji UKW itu adalah orang-orang yang tidak paham
jurnalistik, atau jikapun penguji adalah orang media, ilmu mereka sudah
out-of-date alias kedaluwarsa, tidak sesuai dengan kemajuan zaman.
Dari informasi yang terhimpun, Romlan diduga hanyalah
tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dengan tingkat pendidikan yang demikian
itu, sangat dapat diprediksi kemampuan jurnalisme yang bersangkutan. Anehnya,
PWI dan Dewan Pers tidak hanya memberikan kelulusan sebagai wartawan utama,
tetapi juga mempercayakan yang bersangkutan menjadi salah satu penguji UKW.
Keadaan itu menandakan bahwa sangat patut diduga dalam proses UKW itu
ditumpangi oleh kepentingan pribadi para oknum terkait, seperti oknum di
institusi PWI, oknum Dewan Pers dan yang bersangkutan sendiri.
Dari situs media Kabarbangka.com, kita juga dapat melihat
bahwa media ini sudah diverifikasi dan mendapatkan Sertifikat Dewan Pers.
Selama ini, publik memahami sertifikat Dewan Pers yang diberikan kepada sebuah
institusi media massa sebagai stempel halal bagi media tersebut melakukan
kerja-kerja jurnalisme. Jadi, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sajian
media berstempel halal dari Dewan Pers merupakan makanan sehat dan halal bagi
masyarakat.
Dengan pemahaman seperti itu, publik dapat menilai kondisi
media Kabarbangka.com yang dihalalkan oleh Dewan Pers, baik secara fisik
tampilan atau desain media yang amat sederhana maupun dari isi pemberitaannya.
Mempublikasikan berita bohong dan mencatut nama lembaga negara di tingkat pusat
memerlukan keberanian liar yang luar biasa bagi seorang jurnalis. Mungkin
sekali, keberanian semacam ini yang dinilai Dewan Pers sebagai sesuatu yang
layak dijadikan indikator kelulusan sebuah media massa untuk diberikan
sertifikat halal.
Benar, semua orang bisa salah, bisa khilaf, bisa alpa.
Setinggi apapun tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, tingkat
keprofesionalan dan kehandalan seseorang; pun setinggi apapun tingkat moralitas
seseorang, ia dapat saja sewaktu-waktu tergelincir dalam kesalahan. Demikian
juga dalam persoalan jurnalisme. Wartawan legendaris bisa salah, seperti juga
wartawan pemula. Media sekelas Jawa Pos juga bisa tersandung masalah
pemberitaan bohong seperti pada kasus publikasi terkait berita hoax
ketidak-netralan TNI tempohari.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa
kekeliruan dalam pemberitaan dapat saja terjadi oleh siapapun, kapanpun, di
media manapun. Sepanjang khilaf dan alpa masih menjadi bagian manusiawi dari
manusia, maka kesalahan publikasi media massa, apalagi media sosial, sangat
mungkin terjadi di mana-mana.
Terlebih lagi bicara informasi, yang tiada satu
informasipun di dunia ini yang bebas nilai, bebas kepentingan, imparsial seratus
persen. Informasi juga, selengkap apapun, sedetil apapun, seprofesional apapun,
secanggih apapun pengerjaannya, pasti tetap mengandung “error” atau kesalahan.
Hasil penelitian ilmiah bidang ilmu pasti saja tidak bebas dari faktor margin
error.
Level wartawan utama tidak menjamin pemiliknya mampu bekerja
profesional, handal, dan kredibel sesuai predikat sertifikasi yang
disandangnya. Stempel halal media massa yang diberikan Dewan Pers bukan jaminan
bahwa media tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya sebuah institusi
media harapan publik. Sertifikat UKW dan tanda verifikasi media hanya kertas
mati, yang tidak mutlak dijadikan referensi untuk menentukan keprofesionalan
dan kredibilitas seorang jurnalis dan sebuah media.
Kenyataan itu bukan berarti perlu dibiarkan, dibiasakan, dan
dinihilkan begitu saja. Proses perbaikan harus tetap menjadi perhatian dan
dilakukan sepanjang hayat. Dalam setiap tahapan jurnalistik, semestinya
peningkatan kualitas keakuratan, kefaktual-an dan keterkinian informasi menjadi
mutlak. Untuk itulah, sifat taat azas wajib menjadi ruh yang berdiam dan tumbuh
di dalam setiap orang, terutama setiap pewarta dan jurnalis.
Prinsip 5W+1H
misalnya, harus menjadi landasan suci yang menjadi rujukan setiap
informasi/berita yang akan disampaikan oleh setiap pembawa berita, bahkan oleh
semua orang. Prinsip check and recheck menjadi sangat penting agar keakuratan
dan ke-valid-an setiap informasi dapat ditingkatkan. Demikian juga dasar
filosofi penyebaran informasi 3B, yakni Benar, Baik, dan Bermanfaat, harus
menjadi nafas kehidupan bagi semua orang, terutama yang berkarya di bidang
jurnalisme.
Kembali ke kasus Romlan dengan Kabarbangka-nya, kiranya
puncak gunung es itu menjadi catatan dan evaluasi bagi para pemangku
kepentingan bidang pers, terutama Dewan Pers yang saat ini dipimpin oleh
seorang mantan Menteri Pendidikan. Kebijakan UKW yang sudah dijalankan hampir
10 tahun terakhir ini, ditambah verifikasi media, oleh Dewan Pers, telah
digugat ke PN Jakarta Pusat oleh masyarakat pers beberapa waktu lalu. Hasilnya,
gugatan ditolak.
Sesungguhnya salah satu esensi gugatan itu adalah bahwa
kebijakan Dewan Pers itu telah mendegradasi hasil pendidikan formal kesarjanaan
dan pengalaman profesionalitas ribuan wartawan selama ini. Demikian juga dengan
verifikasi media yang telah melahirkan diskriminasi massif, yang salah satunya
adalah kekeliruan pemahaman tentang konsep hakiki tentang media massa sebagai
alat penyampai pesan antara komunikator (pengirim pesan) dan komunikan
(penerima pesan).
Kekeliruan kebijakan Dewan Pers itu menjadi terstruktur dan
sistemik ketika para pemangku kepentingan di daerah-daerah mengaminkannya.
Perlakuan diskriminatif terhadap wartawan yang adalah rakyatnya si pemda
sendiri, dan media massa yang ada di daerahnya, menjadi pemandangan sehari-hari
di hampir setiap sudut negeri ini. Di kalangan aparat negara seperti Polri dan
TNI, kondisinya ibarat istilah para milenials 11-12 dengan institusi pemda.
Bahkan, TNI mewajibkan wartawan yang berminat untuk mengikuti lomba menulis tentang
TMMD harus memiliki sertifikat UKW dan medianya terverifikasi.
Di dunia bisnis, lebih parah lagi. Nasib wartawan ibarat
tinggal di Afrika Selatan jaman apartheid, ada kulit putih (ber-UKW) dan kulit
hitam (non-UKW). Jika Anda kulit hitam, jangan sekali-kali berlaku kritis
terhadap para pengusaha. Jika ditemukan pemberitaan faktual namun kritis
terhadap sebuah perusahaan di medianya, jeruji besi menjadi kamar kematian
Anda. Dewan Pers akan dengan mudah tersenyum berlepas tangan hanya dengan alibi
“Yang bersangkutan belum UKW dan atau medianya tidak terverifikasi Dewan Pers,
silahkan masukan ke penjara”.
Lebih dari semua uraian di atas, yang paling penting untuk
dievaluasi oleh Pengurus Dewan Pers yang baru di bawah M. Nuh sebagai ketuanya,
adalah bahwa kebijakan UKW dan verifikasi media itu bertentangan dengan
semangat yang dikandung oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Dari keseluruhan 21 pasal yang ada di Undang-Undang Pers tersebut, tidak
ditemukan satu pasalpun yang secara tegas alias tidak ambigu dapat dijadikan
payung hukum pelaksanaan UKW dan verifikasi media. Justru yang terjadi adalah
bahwa penerapan kebijakan UKW dan verifikasi media merupakan pembangkangan
terhadap pasal 2, 3, 4, 6, 8, 9, dan pasal 15 UU Pers.
Langkah kongkrit yang perlu diambil sebagai respon atas
kasus Romlan dan Kabarbangka.com, dikaitkan dengan kebijakan UKW dan verifikasi
media adalah melakukan moratorium atas kebijakan tersebut, diikuti dengan audit
menyeluruh terhadap UKW dan verifikasi media selama ini.
Audit itu tidak saja
meliputi keuangan negara yang digunakan pengurus Dewan Pers, namun juga
terhadap SDM (wartawan) dan media yang telah tersertifikasi. Auditing SDM itu
penting untuk mengukur tingkat keberhasilan program UKW dan sertifikasi yang
sudah dicapai, apakah berbanding lurus atau tidak dengan pengeluaran anggaran
negara yang sudah digunakan selama ini. (*)
Penulis: Wilson Lalengke, adalah Ketua Umum PPWI, Alumni
PPRA-48 Lemhannas RI, Lulusan Pascasarjana bidang Global Ethics dari Birmingham
University Inggris dan Applied Ethics dari konsorsium Utrecht University
Belanda dengan Linkoping University Swedia, Sekjen Kappija-21 (Keluarga Alumni
Program Persahabatan Indonesia Jepang Abad 21)
Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.