SINGKILTERKINI.COM-Kediri. Perkebunan labu yang terhampar
cukup luas, dan menurut info di lapangan, lahan tersebut seluas 2,4 hektar.
Lahan ini dipetakan menurut jenis labu, dan salah satunya yang cukup menarik,
adalah labu shaolin. Entah dari mana munculnya nama labu shaolin ini, tetapi
labu ini sudah identik dengan nama tersebut oleh petani setempat.
Perkebunan labu ini
terletak di Dusun Besuk, Desa Toyoresmi, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri.
Lahan yang digunakan petani, sebagian besar multi fungsi, dalam artian tumpang
sari. Disamping ada labu, dibawah atau samping tanaman tersebut, ada lombok,
ada sawi, dan ada jenis tanaman holtikultura lainnya.
Serka Suyata bersama
Kepala Dusun Besuk Muji Rahayu, sengaja melihat langsung kondisi terkini
perkebunan labu tersebut, untuk menggali info lebih dalam produk yang konon
kabarnya menjadi idola petani setempat. jumat (15/2/2019)
Saat ditemui
langsung, Gatot Siswanto, petani labu setempat, menjelaskan seputar keberadaan
labu shaolin yang dikembangkan dilahan sekitar 0,5 bahu atau sekitar 3.500
meter persegi. Labu ini memang unik, lantaran dijual bukan karena buahnya,
tetapi kulitnya.
“Labu (shaolin) ini
kita jual bukan per kilo, tapi per biji. Labunya tapi tidak bisa dimakan, tidak
ada buahnya labu ini. Yang kita jual kulitnya, kalau buahnya tidak ada. Per
biji kita patok harga Rp 20 ribu, tidak bisa turun, tapi bisa naik,” ungkap
Gatot.
Dijelaskan Gatot,
labu ini dari dulu memang bernama labu shaolin. Terkait nama asli jenis labu
tersebut, Gatot mengaku tidak tahu, tetapi yang jelas, sejak ia menekuni tanam
labu ini, namanya sudah labu shaolin.
Kulit labu, dikatakan
Gatot, digunakan untuk kerajinan tangan berbasis “home industri. Harga dasar,
dipatok sesuai harga yang biasa ditawarkan oleh para petani setempat. Mengenai
pemasaran, minat pasar sangat tinggi, khususnya konsumen dari Bali.
“Saat ini permintaan
kita lebih besar dari stok (labu). Yang disini saja, yang di Bali mintanya
1.400 biji per bulan. Tetapi kita sampai hari ini, tidak bisa. Kalau semua
(labu) dikumpulkan, cuma dapat 90, kadang 110, bisa 120 biji. Kalau rata-rata
100 (biji), naik 120, turun 90 (per bulan),” jelas Gatot.
Diakui Gatot,
permintaan memang jauh lebih tinggi dibanding hasil panen labu milik petani
setempat, bahkan belum pernah sama sekali mencapai 10%nya, apalagi samapi 100%
terpenuhi.
“Sampai sekarang,
kita tidak menjualnya selain dari yang di Bali, karena yang di Bali saja kita
sudah tidak bisa (memenuhi), apalagi yang lainnya. Jadi, kita saat ini mulai
merintis, agar yang di Bali bisa (dipenuhi),” kata Gatot.
Dari pengamatan
sepintas, memang kondisi perkebunan ini masih jauh dari hasil yang ditargetkan
oleh konsumen dari Bali, bahkan relatif sangat jauh perbandingannya. Kendati
masih belum terpenuhinya permintaan pasar, petani setempat bertekad memperbaiki
luas lahan dan produksi labu, khususnya labu shaolin. (dodik)
Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.