-->

Menggali Historis Mpu Bharadah Yang Segaris Dengan Mpu Tantular

Anonymous


SINGKILTERKINI.COM-Kediri. Pura Palenggahan Ida Bhatara Mpu Bharadah, sangat menarik, lantaran sosok Mpu Bharadah inilah, lahir sosok Mpu Tantular yang menulis “Kakawin Sutasoma”, dan Kakawin Sutasoma ini, termuat kalimat “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Tempat ini, berstatus “Tetenger” dan terletak di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.

Lewat “Babinsa Mlaku Mlaku”, Serka Suyata bertanya langsung dari berbagai nara sumber, sekaligus menggali lebih dalam sosok Mpu Bharadah ini, dan nara sumber yang dimaksud, tentu berbeda-beda fokus. kamis (28/2/2019)

Menurut silsilah, Danghyang Bairasatwa menurunkan Danghyang Tahunun atau Mpu Lampita, dan Mpu Lampita menurunkan Mpu Gnjiaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah. Dari Mpu Bharadah, menurunkan Mpu Bahula, dan Mpu Bahula menurunkan Mpu Tantular atau dengan nama lain Danghyang Angsokanata.

Berdasarkan penggalian seputar kehidupan Mpu Bharada, diyakini tinggal di Padepokan “Lemah Tulis”, dan hidup pada masa pemerintahan Kerajaan Kahuripan dibawah kekuasaan Raja Airlangga. Padepokan Lemah Tulis atau “Lemah Citra”, bisa dikatakan masih belum dapat dipastikan, lantaran ada beberapa rujukan yang mengarah pada perbedaan lokasi yang sebenarnya.

Merujuk pada prasasti Kamalagyan yang berada di Desa Watu Tulis, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo. Di prasasti tersebut tertulis, pada masa pemerintahan Raja Airlangga dibangun bendungan Waringin Sapta, dan disinyalir, Lemah Tulis ada disekitarnya, merujuk pada “Wurare”.

Versi lainnya, padepokan tersebut berada di Kabupaten Blora, berdasarkan rujukan “penafsiran” serat Calon Arang, yang menulis kata Wurare atau “Wurara”. Dari kedua kata tersebut, berevolusi alias berubah penuturannya, dari Wrura, Wlura, Blura dan terakhir Blora.  

Berbeda lagi, bila merujuk pada temuan arca perwujudan Raja Kertanegara atau lebih dikenal dengan nama “Joko Dolog” dan nama lainnya “Budha Mahasobhya”. Pada batur alas sandaran, ada tulisan “Wurare”.

Bila diamati, raut muka arca Joko Dolog ini, tangannya membentuk sikap “Bhumispar Samudra” atau telapak tangan kiri tertutup, seolah ingin menyentuh bumi. Patung ini diketemukan pada era pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1817, tepatnya di areal kandang gajah yang terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.

Kata Wurare, berasal dari kata “Bhu” yang artinya tanah dan “Rare” berarti anak. Dari kata tersebut, akhurnya mengerucut pada sebutan Lemah Putra atau Lemah Patra, yang juga searti dengan Lemah Citra.

Dalam serat Calon Arang, Raja Airlangga disebut sebagai Raja Kediri, dalam artian belum ada pemisahan kekuasaan Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian, yaitu Kerajaan Janggala dan Kerajaan Dhaha.

Dari sisi historis, Mpu Bharadah inilah yang sukses menaklukan Calon Arang atau dengan nama lain “Dayu Datu” atau Ratu Nating Girah, dan Calon Arang ini tinggal di Desa Girah atau menurut penafsiran adalah “Gurah” Kediri.

Ada yang menarik untuk diklarifikasikan, yaitu terkait ajaran Tantrayana, yang disinyalir juga dianut oleh Calon Arang. Ajaran Tantrayana ini sebenarnya mengajarkan kebaikan, dan bertolak belakang dengan segala sesuatu yang bergenre kejahatan. Ajaran ini menekankan kedekatan antara jiwa manusia dengan para dewa, dengan mengedepankan sifat-sifat kebajikan dan kebijakan.

Diceritakan, Calon Arang melakukan ritual dan menjalin kontak dengan Batari Durga, untuk memohon kesaktian. Batari Durga sendiri adalah perwujudan dari Dewi Uma yang berstatus istri dari Batara kala, dan Batari Durga menyandang gelar “Ratu Setra Ganda Mayit”.

Dari Calon Arang inilah, muncul 4 kitab yang masuk kategori "Aji Wegig", dalam artian Aji itu ilmu, dan Wegig itu sifat suka mengganggu orang lain. 4 kitab tersebut adalah Lontar Cambra Berag, Lontar Sampian Emas, Lontar Tanting Emas dan Lontar Jung Biru.  

Berdasarkan pengamatan langsung, di Pura Palenggahan Ida Bhatara Mpu Bharadah, ketika kita akan masuk, terlihat “Gapura Paduraksa” yang berada tepat bagian di depan Tetenger. Usai masuk, kita bisa melihat bunga kamboja berwarna merah. Gapura Paduraksa biasanya dibuat untuk memisahkan bagian tengah dengan bagian dalam dari sebuah bangunan suci, sedangkan bagian dalam adalah tempat paling sakral.

Dari sinilah, lewat Babinsa Mlaku Mlaku, sedikit banyak diketahui ada sosok penting yang pernah hidup dimasanya, sekaligus terkoneksi langsung dengan sosok Mpu Tantular, yang dikenal sebagai penulis Kakawin Sutasoma. (dodik)



Komentar Anda

Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.

Berita Terkini