-->

Quo Vadis Konstestasi Politik

REDAKSI


Dian Saputra

Idealnya kemerdekaan itu sudah melebur dihadapan kita sebagai warga negara Indonesia dalam kehidupan bernegara. Premis ini hadir setelah bertubi-tubi sistem pemerintahan Indonesia mengalami pukulan untuk  perubahan yang sesuai dengan kondisi ideal masyarakat, bahkan pra dari kemerdekaan para pendiri bangsa telah berdebat alot untuk memikirkan sebuah konsep negara yang baik bagi Indonesia dengan menjamin berbagai hak kemerdekaan bagi setiap individunya.

Klimaks dari merdekanya sistem pemerintahan Indonesia adalah diberinya hak setiap individu untuk dapat memilih langsung pemimpin yang menurutnya ideal untuk memimpin. Tanpa disadari kebebasan ini diraih bukan seperti membalikan telapak tangan tetapi jauh dari pada itu menelan korban bahkan menyebabkan kekacauan kondisi Indonesia dan moment itu terjadi pada tahun 1998 (Baca: Reformasi)
Namun apakah amanah ini direpresentasikan dengan baik?, atau justru semakin memperburuk atmosfer perpolitikan Indonesia?.

Menariknya kondisi pemilihan langsung ini baik dari tingkat presiden sampai tingkat paling rendah Kepala Desa menjadi ibarat sebuah pisau bermata dua yang jika kita tidak mampu menggunakan justu akan menusuk diri sendiri.

Mari kita tarik benang merah dari permasalahan yang paling umum terjadi saat pesta demokrasi pemilihan langsung tiba yaitu politik money.

Mungkin kondisi ini akan mengimplementasikan pepatah "manis di awal pahit di akhir". Fenomena ini sudah menjamur di sisi masyarakat dan menjadi hal yang lumrah setiap kali kontestasi politik, bahkan bawaslu sendiri sangat sulit mengendus keadaan ini.

Praktik Politik Uang

Namun senjenak kita lihat konsepsi politik uang yang terjadi agar diperjelas sehingga tidak menimbulkan hal yang multitafsir. 

Dalam status quonya praktik kontestasi politik memerlukan sejumlah biaya politik yang digunakan oleh para kandidat untuk memasarkan diri, dan bisa jadi ini bukan dari politik uang yang kita maksud. 

Misalnya biaya untuk alat kampanye, rapat-rapat anggota, biaya konsolidasi, transportasi dan sebagainya.

Jelas kondisi diatas bukanlah termasuk politik uang. Namun ada hal yang perlu digaris bawahi yaitu sumber anggaran yang didapatkan, dari mana, dan dari siapa, apakah ada kaitanya dengan pemodal yang memiliki kepentingan dan pada akhirnya akan menyetir pemerintahan ketika terpilih.

Hal ini wajib waspadai jika kaum pemodal ada dibelakang kandidat maka dipastikan akan ada garansi politik bagi kandidat.

Sedangkan politik uang yang sering terjadi dilapangan adalah dengan memberikan berbagai modus, mulai dari memberikan sembako, berbagai hadiah, asuransi bagi pemilihnya, yang paling sering terjadi dengan memberikan uang tunai dan puncaknya adalah dengan iming-iming jabatan.

Hal ini tentunya sangat menyalahi baik secara aturan maupun secara kehidupan demokrasi. Keadaan ini jelas ini sangat membuat sistem pemilihan yang tidak sehat dan merusak sistem demokrasi karena mengunci suara seseorang untuk memilih berdasarkan hatinya, dan tidak lagi melihat kemampuan seseorang untuk memimpin melainkan siapa modal uang paling banyak.

Padahal secara perundang-undangan ancaman bagi keadaan seperti ini cukuplah berat sebagaimana UU No. 6 Tahun 2020 Tentang Pilkada  ketentuan pidana mengenai politik uang dalam pasal 187A ayat (1), bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu diancam paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dampak Jangka Panjang

Namun seakan sangsi yang berlaku ini dikangkangi dengan ganasnya, bahkan sangsi sosial sekalipun itu menjadi hal yang lumrah dan dianggap akan biasa bilamana pemimpin yang terpilih akan memainkan proyek-proyek yang akan dikerjakan. 

Parahnya sekalipun itu tidak sesuai dengan harapan serta rancangan akan menjadi hal yang biasa, karna adanya kebutuhan balik modal pemimpin yang tepilih.

Keadaan demikian sangat buruk hingga terjadi ditingkat rendah kempimpinan pemerintahan yaitu desa.

Keberharapan pada lembaga  yang disokong dana cukup besar ini untuk membangun desa ke arah yang lebih baik lagi pun harus kita telan dalam-dalam karena sangat sulit akan terjadi. 

Karena ada kebutuhan balik modal disana yang akan mementingkan sebuah kelompok. Sehingga pembangunan yang ideal hanya akan menjadi utopia saja.

Jangka panjang dari keadaan ini yang tidak diinginkan penulis selaku generasi muda adalah semakin sulitnya mencari pemimpin yang ideal untuk memimpin setiap golongan masyarakat. 

Bisa kita bayangkan mereka yang memiliki kemampuan serta niat baik buat memajukan harus dipukul mundur oleh keadaan sebuah masyarakat yang lebih mengutamakan matrealistik diawal.

Tanpa disadari keadaan ini juga akibat terlalu pahitnya masyarakat menerima pemimpin yang memiliki moralitas rendah sehingga acap kali mengecewakan dan ini berlangsung secara terus menerus, sehingga semua mangambil jalan pintas dengan mengorbankan 5 tahun kedepan untuk mengalami hal yang sama lagi. 

Keadaan ini tidak bisa menjadi pembenaran karena akan menghancurkan moral secara sistematis kepada anak cucu.

Bahkan penulis bisa membayangkan bahwa keadaan kedepan akan terus semakin buruk, karena jurang kapitalisme akan hadir secara kompleks di lingkaran pemimpin. 

Mereka yang layak jadi pemimpin syarat utamanya memiliki kekayaan dan akan terus memkerdilkan kemampuan. Mereka yang kaya akan terus kaya dan miskin akan terus miskin.

Desa Sebagai Role Model
Secara sadar penulis paham bahwa keadaan seperti ini tidak akan mudah berubah begitu saja, tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama seiring tingkat literasi politik setiap masyarakat meningkat. 

Tulisan ini hadir karna terlalu resahnya penulis mendengar konstestasi politik yang semakin diluar alur yang diharapkan oleh pendiri bangsa bahkan bak peluru yang terus menghantam konstitusi.

Jelas keadaan ini adalah masalah moral yang harus kita hadapi secara bersama. Bukan hanya aparat penegak hukum saja yang harus memperketat sistem pemilihan. 

Tetapi kesadaran dari semua golongan untuk merangkul setiap mereka untuk mengembalikan kesucian perpolitikan pemilihan pemimpin disetiap skala.

Pemilihan pemimpin bukanlah dijadikan sebuah bisnis yang butuh modal dan berharap keuntungan, dimana pardigma seperti ini lah yang akan melebur harapan sebuah kemajuan untuk kita. 

Sekalipun dari tingkat desa, harapanya desa menjadi role model bagi pemerintahan diatasnya yang tingkat perpolitikanya lebih deras. 
Bahwa desa adalah masyarakat yang masih menjunjung tinggi setiap lembaran kearifan lokal yang dijaga mulai dari sikap gotong royong, integritas tinggi, saling menghargai. 

Maka diharapkan akan hadir, sebuah figur pemimpin yang menjadi kiblat bahwa desa dengan kearifan lokal yang kental akan menjadi kiblat kejujuran bagi pemimpin diatasnya.

Namun apabila desa pun sebagai peyanggah local wisdom tidak mampu juga maka komplekslah krisis moralitas bangsa kita sampai ke akarnya. Harapan kesejahteraan masyarakat kian jauh dari genggaman kita.

Rantai-rantai kemiskinan terus memukul setiap masyarakat untuk memperluas semuanya. Kejujuran tinggal menjadi teori-teori di warung kopi, dan menjadi ajaran di setiap agama dan sekolah. Namun menjadi nilai nol besar ketika di implementasikan.

Penulis: Dian Saputra
(Mahasiswa Universitas Teuku Umar Asal Aceh Singkil)

Komentar Anda

Terimakasih Atas Kunjungannya, Silahkan berkomentar dengan bijak, Komentar Spam dan/atau berisi link aktif tidak akan ditampilkan. Terimakasih.

Berita Terkini